Aku
Dipilih Tuhan
Alfabetha Fransiska Andani
125634003
PKK
089602989276
Sesuatu
yang sederhana itu seperti ini, ya, seperti apa yang aku nikmati saat ini. Aku
tegaskan sederhana bukan berarti kurang. Eyang putri selalu berkata bahwa Tuhan
akan selalu mencukupi anak-anakNya. Lalu kenapa aku menggunakan kata sederhana
untuk mendeskripsikan hidupku? Bukankah Tuhan selalu memberikan berkat yang
luar biasa? Bukankah eyang putri bilang berkat Tuhan selalu luar biasa?
Jawabannya singkat , karena apa yang aku miliki sekarang
memang bukan untuk
dibanggakan. Aku bukan putri kerajaan yang bermahkotakan batu berlian, bukan
ibu peri yang bijaksana, bukan juga Thinker
Bell yang rajin bekerja. Aku hanya seorang anak kecil. Seorang anak kecil
yang sederhana. Anak kecil? Haha. Sadar! Sebentar lagi usiaku genap 18 tahun.
Tapi apapun itu aku tetap anak kecil. Anak kecilnya mama, anak kecilnya papa,
dan Tuhan Yesus.
Mungkin
teman-temen melupakan ritual doa sebelum tidur, saat akan berangkat sekolah,
saat kertas-kertas Ujian Akhir tersusun rapi dengan staples di ujung kirinya,
tapi aku tidak. Aku penakut, aku tukang gusar, aku..., aahh kata orang aku ini
cemen. Bahkan mungkin adik kecilku di rumah jauh lebih pemberani dibandingkan
dengan aku. Maka dari itu aku butuh Tuhan, lebih dari aku butuh mama, papa,
eyang putri, adek kecil, bahkan si troll1 menyeramkan yang telah menyelamatkan
nyawaku. Ahh, troll itu kembali melintas di pikiranku. Tunggu dulu! Ini bukan troll
seperti yang kalian pikirkan. Bukan mahluk besar dengan tampang buruk yang
biasa menghiasi buku dongeng pengantar tidur. Ini troll yang berbeda, troll
yang istimewa. Troll yang aku sayang dan troll yang juga sayang aku.
***
Tahun
lalu aku berada di titik puncak pergumulan hidupku. Semua datar, tanpa arti,
dan tanpa pengharapan. Ketika mendengar deru kabar perpisahan mereka aku pun
mulai berlari. Berlari jauh dan sangat jauh. Dan itu yang aku sesali sampai
saat ini. Kenapa aku harus berlari? Kenapa harus pergi? Andai saat itu aku ada
di samping mereka dan meminta kejelasan. Andai aku berjuang dan berperang untuk
mencegah perpisahan itu. Tapi andai hanya sekedar andai dan masa lalu hanya
sekedar masa lalu. Terlambat.
***
“dan
kemerdekaan Indonesia itu bukan hadiah,
bukan kado dari para penjajah, itu semua berkat hasil perjuangan para pendahulu
kita. Bayangkan jika....”
“La,
bayangin deh kalau Doni punya kumis tebal gimana ya?”
“Apaan
sih, bayangin penjajah, Din, bukan kumis.”
“Bentar
deh liat tuh!” gadis berambut panjang di sampingku menujuk ke arah sosok yang
sedang sibuk dengan remote Power Point
di depan kelas.
“Liat
Pak Bowo? Males ahh.” Aku tetap tertunduk dan memandangi buku tebal di mejaku.
“Kumis,
La, bayangin Doni pake kumis itu.” Gadis itu mengangkat dahiku.
“Hahaha.” Tawa pun pecah diantara kami, kumis itu
benar-benar menggelikan. Bukan karna tampang Pak Bowo, tapi karena imajinasi
kami meng-updatenya dengan tampang
Doni pacar Dina.
“Eh
La, kamu kenapa sih? “
“Hemm.
“ Nah, ini dia pertanyaan yang sulit aku jawab.
“La,
kenapa? Barusan ketawa eh cepet banget nunduk lagi.”
Aku
mengangkat tangan dan, “Permisi Pak, saya minta ijin ke kamar kecil.”
Aku
merasakan partikel oksigen yang lebih segar ketika kakiku melangkah menjauhi
kelas. Merasakan angin yang membelai wajahku. Suasana sekolah sepi siang ini.
Terlihat sedikit adik kelas yang masih asik bercerita di koridor kelas. Sisanya
mungkin sudah menikmati indahnya alam bawah sadar di singgasana masing-masing.
Ini hari senin. Hari paling gila sepanjang hidup umat manusia. Dan khususnya
bagi siswa-siswi angkatan terakhir seperti aku yang syarat akan tambahan
pelajaran.
Kamar
kecil sekolah ada di ujung koridor barat. Tak banyak yang aku temui disana.
Hanya bilik-bilik kecil toilet dan beberapa wastafel. Aroma cemara menyebar
luas di seluruh area ini. Harum dan tenang. Tidak seperti hatiku dan juga
otakku.
“Ahh,
ada apa dengan aku hari ini?” bentakku pada cermin datar yang memampangkan
bayangan wajahku.
***
Jam
menunjukkan pukul tiga lebih tujuh menit dan sore ini awan cumulonimbus sedang bertengger kokoh di atas sana.
“Sayang,
maaf.” Wajahnya terlihat begitu menyesal.
“Haha,
apa sih? Baru telat tujuh menit kok.” Candaku sambil menepuk pipinya.
“Kan
aku janji jemput jam tiga tet, sayang.”
“Udahlah
sayang, ayo balapan sama hujan.” Aku segera naik ke sepeda motor hitam
miliknya. Dan tepat seperti yang aku bilang, kita memang harus mendahului
hujan.
***
“Hahaha”
kami berlari masuk ke warung bakso Bulat Pingpong milik Abang Gundul.
“Ini
mesti wis, seneng kalau diajak hujan-hujan.” Katanya lembut sambil mengusap air
di bawah mataku. “Bentar ya sayang aku pesen dulu.” Punggung dengan seragam
putih bersih itu pergi menjauhiku.
Itu
punggung si troll. Terlalu sadis jika aku bilang dia menyeramkan. Dia baik,
dewasa dan lembut. Mungkin dia troll terlembut yang pernah tercipta di negeri
ini. Dan satu-satunya troll terlembut diseantero jagad raya.
Aku
bertemu troll itu setengah tahun lalu. Dia menyelamatkan nyawaku. Terdengar
klise tapi ini bukan cerita superhero dengan gadis cantik dan bukan juga cerita
romantis klise ala Eiffel seperti di televisi. Ini nyata. Dia juga nyata.
Sore
itu keadaan tak jauh berbeda dari hari ini. Hujan deras curahan hati si tante cumulonimbus. Aku pulang seusai belajar
kelompok di sekolah. Aku pulang sendiri karena Antonius sudah tidak lagi
menjalankan tugasnya. Itu sebulan setelah Antonius meninggalkanku dengan gadis
cantik itu. Jika teringat Antonius hatiku sakit, apalagi teringat gadis itu.
Pantas saja Anton memilihnya, dia cantik seribu delapan ratus delapan belas
kali lebih cantik dari aku. Oh, tidak! Aku benci ketika mengingat mereka dan
mereka juga yang membuat aku ingat kata-kata mama, “kalau Anton yang terbaik
buat kamu, dia pasti kembali kok.” dan faktanya sampai detik ini dia tak
kunjung kembali. Okey, mama dan Tuhan
benar, dia bukan yang terbaik. Lalu troll ini? Sekali lagi dia menyelamatkanku
sore itu. Tanpa troll itu mungkin kendaraan roda empat itu sudah menerpaku dan aku
tidak dapat merasakan hujan sore ini. Tidak bisa menikmati Bakso Bulat Pingpong
Abang Gendut lagi. Mungkin aku sudah disisi Tuhan sore ini. Troll yang satu itu
seperti malaikat. Lalu kenapa aku menyebutnya troll? Kenapa bukan malaikat?. Jawabannya
singkat, karena dia berbeda.
“Antri
sayang, hujan-hujan gini pada jajan bakso semua.”
“Heh,
iya sayang, apa?” tanpa sadar ternyata dia sudah duduk di sampingku.
“Baksonya
antri sayang.” Jawabnya sambil tersenyum lembut dan mengelus rambutku. Apa aku
bilang dia itu troll paling lembut.
Sudah
lima belas menit kami bercanda di bawah tenda oranye ini. Bersamanya selalu
terasa nyaman dan menyenangkan.
“Ini
mas, maaf lama, laris manis. Hehe.” Mas Cuplik karyawan Abang Gendut yang
mengantarkan langsung ke meja kami.
“Alhamdullilah, makasi, Mas.”
Nah,
itu dia satu kata yang menunjukkan perbedaan di antara kami. Tepat sekali! Dia
bukan anak Tuhan.
Namanya
Ridho, dia laki-laki tinggi dan besar. Kita bersekolah di tempat yang sama
namun berbeda kelas, dia siswa jurusan IPS sedangkan aku jurusan IPA. Dia teman
sekelas Doni pacar Dina, sahabatku. Dia yang menyelamatkan aku yang nyaris di
hajar mobil sore itu. Dia orang yang sangat menyayangiku. Dan dia yang aku
sebut, troll.
***
“Tuhan
terima kasih untuk berkat-Mu pada hari ini. Terima kasih atas penyertaan-Mu
untuk studi ku hari ini. Sertai selalu mama yang berjuang untukku. Sertai juga
papa yang jauh di luar sana. Berikan penyertaanmu dalam hidup papa, lancarkan
pekerjaan papa, dan bawa papa kembali pulang pada keluarga. Sertai juga adik
kecil, sertai juga Ridho, sertai keluarganya, sertai sekolahnya. Bantu kami
mengahadapi Ujian Nasional beberapa bulan kedepan. Sertai hari aku besok ya
Tuhan. Terimakasih untuk hari ini Bapa. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Haleluya.
Amin.”
Aku
membuka mata dan melihat satu pesan masuk di telepon genggamku.
“Selamat
tidur sayang.
Mimpi
indah ya.
Besok
aku jemput jam setengah tujuh pas.
Sayang
kamu. J ”
***
“Ma,
aku pulang.” Aku lepas sepatu kucel ini dan menaruhnya di rak sebelah pintu.
“Kak,
bantu adik ya.” Aku terkejut melihat si adik kecil sudah berada tepat di
depanku. Aku pun merunduk untuk menjangkau tinggi anak berusia 4 tahun ini.
“Adik
gak bisa bikin telul.” Suaranya mengiba.
“Bikin
telur? Yang bisa bikin telur cuma ibu ayam, sayang.” Jawabku sambil tersenyum
dan mengelus rambutnya.
“Telul
paskah, Kak. Sama bu gulu sekolah minggu disuluh bikin telul.”
Aku
melirik kalender di ruang tamu. Ahh, bagaimana aku ini? Bahkan aku lupa kalau
Minggu depan Paskah. Melihat tanggal merah itu semangatku seketika terpacu.
“Ma,
Jumat depan tanggal merah. Aku main ya?” teriakku melihat mama membersihkan
ruang keluarga.
“Ke
gereja sayang, ibadah pagi jam tujuh.” Jawab mama datar.
“Ahh
ma, kali ini saja. Jadi murid kelas dua belas itu melelahkan, Ma.” Nadaku mulai
memelas.
“Sepulang
gereja silahkan Kakak bermain sepuasnya.”
Rasanya
kecewa namun tidak masalah, toh, aku suka Paskah. Pergi ke gereja bersama
keluarga, melihat adek kecil dan teman-temannya menampilkan pertunjukan, dan
pastinya berburu telur dan permen. Haha, gejolak masa kecilku keluar lagi.
Namun, sepertinya ini Paskah pertamaku tanpa papa. Aku rindu papa.
***
‘“... Aku
mengasihinya Tuhan, di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Haleluya. Amin.” Aku
mengakhiri doaku dan membuka mata.
“Kak?”
Terdengar suara mama dari balik pintu kamarku. “Boleh mama masuk?”
“Kak,
ngobrol bentar sama mama ya?” Mama duduk di ranjangku dan tersenyum sangat
hangat.
“Tumben
ma? Hayo ada apa ma?” Candaku sambil mencolek pipi mama.
“Besok
tryout sayang? Sudah belajar kan?”
“Hehe,
apa sih ma? Gak usa basa-basi gitu deh?”
“Kakak
gimana hubungannya sama Mas Ridho?”
“Hehe,
Puji Tuhan baik ma, mama denger doaku ya?”
“Kakak
sayang banget ya sama Mas Ridho? Mama juga suka kok, Mas Ridho anaknya baik,
sopan, terlihat dewasa juga.” Ya Tuhan, senyum mama teramat manis saat
mengatakannya.
“Ma,
Kaila sayang sama Ridho, Kaila takut.” Raut wajahku berubah seratus delapan puluh
derajat.
“Iya
sayang, makanya itu mama ingin ngobrol serius dengan Kakak.” Mama mengelus
rambutku.
“Apa
Tuhan marah kalau Kaila mengasihi orang yang berbeda? Kaila sayang Ridho, Ma.”
Tanpa sadar ada air yang jatuh dari ujung mataku.
“Tuhan
kita itu penuh kasih sayang. Menurut Kakak untuk apa Tuhan Yesus rela turun ke
dunia dan jadi sama dengan manusia? Untuk menunjukkan kasih-Nya pada kita kan?
Kakak juga tahu kan, Tuhan Yesus sudah rela mati di kayu salib juga untuk
menebus dosa umat manusia. Kakak lihat saja betapa besar kasih Tuhan kepada
kita selama ini, apa mungkin Tuhan akan marah jika kita mengasihi orang lain?”
Aku hanya
membisu. Seketika semuanya hening. “Kak, semua yang Tuhan ciptakan di dunia ini
untuk kemuliaanNya, manusia yang menciptakan perbedaan, manusia juga yang
menciptakan jurang pemisah. Setiap orang itu sama di mata Tuhan. Lalu untuk apa
Tuhan bangkit pada hari ketiga? Untuk menggenapi firman-Nya, untuk menunjukkan
kemuliaan dan kebesaranNya. Percaya deh Kak, kasih Tuhan itu besar buat
orang-orang percaya.”
“Tapi
Ridho muslim ma, bukan orang percaya. Apa aku harus menjadikannya Kristen agar
kita bisa bersama?” Nada suaraku rendah dan terdengar menyerah.
Mama
memelukku dengan sebuah kalimat sederhana yang mampu menghipnotisku. “Jadikan
semua bangsa muridku, bukan jadikan semua bangsa orang Kristen. Kamu dipilih
Tuhan buat jadi berkat buat Ridho, pancarkan kasih Tuhan lewat perbuatanmu. Sekarang
semua dimulai dari kamu. Buat Ridho percaya kebesaran Tuhan melalui kamu.
Melalui anak mama yang manja ini. Lalukan yang terbaik buat Tuhan maka Tuhan
akan menberikan yang terbaik buat kamu.” Kalimat itu mama akhiri dengan sebuah senyum
yang luar biasa indah.
“Sekarang
mama ingin lihat anak mama yang jelek ini tersenyum.” Kata mama sembari
melepaskan pelukanku.
Malam
ini aku dan mama, berdoa bersama. Berdoa untukku, berdoa untuk hubunganku dan
Ridho, dan berdoa untuk kami. Aku mengasihinya Tuhan. Tolong kami. Dan malam
ini aku bersyukur Tuhan memberikan aku oknum terluar biasa sepanjang masa,
mamaku.
***
“...
Karena kita Dia menderita
Karena
kita Dia disalibkan,
agar
dunia yang hilang diselamatkan,
dari
hukuman kekal”
Ibadah
Jumat Agung pagi ini begitu haru dan tenang. Atmosfir kesyahduan begitu terasa
mengenang kematian Tuhan Yesus di kayu salib. Aku pun ikut merasakan betapa
besar pengorbanan Tuhan Yesus bagi umat manusia. Betapa luar biasa mengingat
dosa kita yang tak terhitung banyaknya Dia tebus dengan darah-Nya yang begitu
mahal. Perjamuan Kudus menambah kesatuan hidupku dengan-Nya. Walau tak seperti
tahun-tahun sebelumnya ketika aku, mama, dan papa duduk dalam deret sama tetapi
aku tetap merasakan hikmat yang begitu luar biasa. Hari ini berbeda, hanya ada
aku dan mama yang melihat adik dan anak-anak sekolah minggu menampilkan sebuah
pementasan sederhana. Namun bagaimana pun keadaannya, aku selalu berdoa agar
Tuhan membawa papa kembali. Dan apa yang aku miliki sekarang, itulah yang harus
aku syukuri.
“Mama,
Kak Kaila...” Si adik kecil berlari menghampiri kami.
“Mama,
Kakak, adik juala satu.” Senyumnya begitu menggemaskan.
“Berarti
hadiahnya buat kakak dong!” Godaku sambil mencubit pipinya.
“Endak
ini buat adik, kan adik yang juala.” Dengan segera si adik kecil menyembunyikan
kotak dengan kertas kado ungu itu di balik punggungnya.
“Oh,
tidak bisa yang menghias telur kan kakak, adik kan cuma liat aja.”
“Gak
boleh ini punya adik, kan yang lomba bikin telul adek. Wek!” Si adik kecil
menjulurkan lidahnya. Mama hanya tersenyum geli melihat tingkah anak-anaknya.
“Terus
kakak dapat apa?” Aku menunduk dan memasang wajah memelas.
“Ini,
ini buat kakak.” Adik kecil maraih sakunya dan memberikan sebuah kertas kecil
berwarna merah jambu. Sepertinya ini pembatas alkitab.
Tanpa
aku sadari deret rapi tulisan dalam kertas itu begitu luar biasa. Aku
membacanya dengan diakhiri senyuman tipis. Haha, ini perintah! Ahh, Tuhan
selalu tahu apa yang aku alami. Terima kasih Tuhan. Selamat Paskah.
“Bukan kamu yang memilih
Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya
kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu
minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan kepadamu. Inilah perintah-Ku
kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain. Yohanes 15 : 16-17”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini. Tuhan Yesus memberkati. GBU