Jumat, 29 Maret 2013

Karya : Alfabetha Fransiska Andani


Aku Dipilih Tuhan
Alfabetha Fransiska Andani
125634003
PKK
089602989276
Sesuatu yang sederhana itu seperti ini, ya, seperti apa yang aku nikmati saat ini. Aku tegaskan sederhana bukan berarti kurang. Eyang putri selalu berkata bahwa Tuhan akan selalu mencukupi anak-anakNya. Lalu kenapa aku menggunakan kata sederhana untuk mendeskripsikan hidupku? Bukankah Tuhan selalu memberikan berkat yang luar biasa? Bukankah eyang putri bilang berkat Tuhan selalu luar biasa? Jawabannya singkat , karena apa yang aku miliki sekarang
memang bukan untuk dibanggakan. Aku bukan putri kerajaan yang bermahkotakan batu berlian, bukan ibu peri yang bijaksana, bukan juga Thinker Bell yang rajin bekerja. Aku hanya seorang anak kecil. Seorang anak kecil yang sederhana. Anak kecil? Haha. Sadar! Sebentar lagi usiaku genap 18 tahun. Tapi apapun itu aku tetap anak kecil. Anak kecilnya mama, anak kecilnya papa, dan Tuhan Yesus.
Mungkin teman-temen melupakan ritual doa sebelum tidur, saat akan berangkat sekolah, saat kertas-kertas Ujian Akhir tersusun rapi dengan staples di ujung kirinya, tapi aku tidak. Aku penakut, aku tukang gusar, aku..., aahh kata orang aku ini cemen. Bahkan mungkin adik kecilku di rumah jauh lebih pemberani dibandingkan dengan aku. Maka dari itu aku butuh Tuhan, lebih dari aku butuh mama, papa, eyang putri, adek kecil, bahkan si troll1 menyeramkan yang telah menyelamatkan nyawaku. Ahh, troll itu kembali melintas di pikiranku. Tunggu dulu! Ini bukan troll seperti yang kalian pikirkan. Bukan mahluk besar dengan tampang buruk yang biasa menghiasi buku dongeng pengantar tidur. Ini troll yang berbeda, troll yang istimewa. Troll yang aku sayang dan troll yang juga sayang aku.
***
Tahun lalu aku berada di titik puncak pergumulan hidupku. Semua datar, tanpa arti, dan tanpa pengharapan. Ketika mendengar deru kabar perpisahan mereka aku pun mulai berlari. Berlari jauh dan sangat jauh. Dan itu yang aku sesali sampai saat ini. Kenapa aku harus berlari? Kenapa harus pergi? Andai saat itu aku ada di samping mereka dan meminta kejelasan. Andai aku berjuang dan berperang untuk mencegah perpisahan itu. Tapi andai hanya sekedar andai dan masa lalu hanya sekedar masa lalu. Terlambat.
***
“dan kemerdekaan  Indonesia itu bukan hadiah, bukan kado dari para penjajah, itu semua berkat hasil perjuangan para pendahulu kita.  Bayangkan jika....”
“La, bayangin deh kalau Doni punya kumis tebal gimana ya?”
“Apaan sih, bayangin penjajah, Din, bukan kumis.”
“Bentar deh liat tuh!” gadis berambut panjang di sampingku menujuk ke arah sosok yang sedang sibuk dengan remote Power Point  di depan kelas.
“Liat Pak Bowo? Males ahh.” Aku tetap tertunduk dan memandangi buku tebal di mejaku.
“Kumis, La, bayangin Doni pake kumis itu.” Gadis itu mengangkat dahiku.
“Hahaha.”  Tawa pun pecah diantara kami, kumis itu benar-benar menggelikan. Bukan karna tampang Pak Bowo, tapi karena imajinasi kami meng-updatenya dengan tampang Doni pacar Dina.
“Eh La, kamu kenapa sih? “
“Hemm. “ Nah, ini dia pertanyaan yang sulit aku jawab.
“La, kenapa? Barusan ketawa eh cepet banget nunduk lagi.”
Aku mengangkat tangan dan, “Permisi Pak, saya minta ijin ke kamar kecil.”
Aku merasakan partikel oksigen yang lebih segar ketika kakiku melangkah menjauhi kelas. Merasakan angin yang membelai wajahku. Suasana sekolah sepi siang ini. Terlihat sedikit adik kelas yang masih asik bercerita di koridor kelas. Sisanya mungkin sudah menikmati indahnya alam bawah sadar di singgasana masing-masing. Ini hari senin. Hari paling gila sepanjang hidup umat manusia. Dan khususnya bagi siswa-siswi angkatan terakhir seperti aku yang syarat akan tambahan pelajaran.
Kamar kecil sekolah ada di ujung koridor barat. Tak banyak yang aku temui disana. Hanya bilik-bilik kecil toilet dan beberapa wastafel. Aroma cemara menyebar luas di seluruh area ini. Harum dan tenang. Tidak seperti hatiku dan juga otakku.
“Ahh, ada apa dengan aku hari ini?” bentakku pada cermin datar yang memampangkan bayangan wajahku.

***
Jam menunjukkan pukul tiga lebih tujuh menit dan sore ini awan cumulonimbus sedang bertengger kokoh di atas sana.
“Sayang, maaf.” Wajahnya terlihat begitu menyesal.
“Haha, apa sih? Baru telat tujuh menit kok.” Candaku sambil menepuk pipinya.
“Kan aku janji jemput jam tiga tet, sayang.”
“Udahlah sayang, ayo balapan sama hujan.” Aku segera naik ke sepeda motor hitam miliknya. Dan tepat seperti yang aku bilang, kita memang harus mendahului hujan.
***
“Hahaha” kami berlari masuk ke warung bakso Bulat Pingpong milik Abang Gundul.
“Ini mesti wis, seneng kalau diajak hujan-hujan.” Katanya lembut sambil mengusap air di bawah mataku. “Bentar ya sayang aku pesen dulu.” Punggung dengan seragam putih bersih itu pergi menjauhiku.
Itu punggung si troll. Terlalu sadis jika aku bilang dia menyeramkan. Dia baik, dewasa dan lembut. Mungkin dia troll terlembut yang pernah tercipta di negeri ini. Dan satu-satunya troll terlembut diseantero jagad raya.
Aku bertemu troll itu setengah tahun lalu. Dia menyelamatkan nyawaku. Terdengar klise tapi ini bukan cerita superhero dengan gadis cantik dan bukan juga cerita romantis klise ala Eiffel seperti di televisi. Ini nyata. Dia juga nyata.
Sore itu keadaan tak jauh berbeda dari hari ini. Hujan deras curahan hati si tante cumulonimbus. Aku pulang seusai belajar kelompok di sekolah. Aku pulang sendiri karena Antonius sudah tidak lagi menjalankan tugasnya. Itu sebulan setelah Antonius meninggalkanku dengan gadis cantik itu. Jika teringat Antonius hatiku sakit, apalagi teringat gadis itu. Pantas saja Anton memilihnya, dia cantik seribu delapan ratus delapan belas kali lebih cantik dari aku. Oh, tidak! Aku benci ketika mengingat mereka dan mereka juga yang membuat aku ingat kata-kata mama, “kalau Anton yang terbaik buat kamu, dia pasti kembali kok.” dan faktanya sampai detik ini dia tak kunjung kembali. Okey, mama dan Tuhan benar, dia bukan yang terbaik. Lalu troll ini? Sekali lagi dia menyelamatkanku sore itu. Tanpa troll itu mungkin kendaraan roda empat itu sudah menerpaku dan aku tidak dapat merasakan hujan sore ini. Tidak bisa menikmati Bakso Bulat Pingpong Abang Gendut lagi. Mungkin aku sudah disisi Tuhan sore ini. Troll yang satu itu seperti malaikat. Lalu kenapa aku menyebutnya troll? Kenapa bukan malaikat?. Jawabannya singkat, karena dia berbeda.
“Antri sayang, hujan-hujan gini pada jajan bakso semua.”
“Heh, iya sayang, apa?” tanpa sadar ternyata dia sudah duduk di sampingku.
“Baksonya antri sayang.” Jawabnya sambil tersenyum lembut dan mengelus rambutku. Apa aku bilang dia itu troll paling lembut.
Sudah lima belas menit kami bercanda di bawah tenda oranye ini. Bersamanya selalu terasa nyaman dan menyenangkan.
“Ini mas, maaf lama, laris manis. Hehe.” Mas Cuplik karyawan Abang Gendut yang mengantarkan langsung ke meja kami.
Alhamdullilah, makasi, Mas.”
Nah, itu dia satu kata yang menunjukkan perbedaan di antara kami. Tepat sekali! Dia bukan anak Tuhan.
Namanya Ridho, dia laki-laki tinggi dan besar. Kita bersekolah di tempat yang sama namun berbeda kelas, dia siswa jurusan IPS sedangkan aku jurusan IPA. Dia teman sekelas Doni pacar Dina, sahabatku. Dia yang menyelamatkan aku yang nyaris di hajar mobil sore itu. Dia orang yang sangat menyayangiku. Dan dia yang aku sebut, troll.
***
“Tuhan terima kasih untuk berkat-Mu pada hari ini. Terima kasih atas penyertaan-Mu untuk studi ku hari ini. Sertai selalu mama yang berjuang untukku. Sertai juga papa yang jauh di luar sana. Berikan penyertaanmu dalam hidup papa, lancarkan pekerjaan papa, dan bawa papa kembali pulang pada keluarga. Sertai juga adik kecil, sertai juga Ridho, sertai keluarganya, sertai sekolahnya. Bantu kami mengahadapi Ujian Nasional beberapa bulan kedepan. Sertai hari aku besok ya Tuhan. Terimakasih untuk hari ini Bapa. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Haleluya. Amin.”
Aku membuka mata dan melihat satu pesan masuk di telepon genggamku.
“Selamat tidur sayang.
Mimpi indah ya.
Besok aku jemput jam setengah tujuh pas.
Sayang kamu. J
***
“Ma, aku pulang.” Aku lepas sepatu kucel ini dan menaruhnya di rak sebelah pintu.
“Kak, bantu adik ya.” Aku terkejut melihat si adik kecil sudah berada tepat di depanku. Aku pun merunduk untuk menjangkau tinggi anak berusia 4 tahun ini.
“Adik gak bisa bikin telul.” Suaranya mengiba.
“Bikin telur? Yang bisa bikin telur cuma ibu ayam, sayang.” Jawabku sambil tersenyum dan mengelus rambutnya.
“Telul paskah, Kak. Sama bu gulu sekolah minggu disuluh bikin telul.”
Aku melirik kalender di ruang tamu. Ahh, bagaimana aku ini? Bahkan aku lupa kalau Minggu depan Paskah. Melihat tanggal merah itu semangatku seketika terpacu.
“Ma, Jumat depan tanggal merah. Aku main ya?” teriakku melihat mama membersihkan ruang keluarga.
“Ke gereja sayang, ibadah pagi jam tujuh.” Jawab mama datar.
“Ahh ma, kali ini saja. Jadi murid kelas dua belas itu melelahkan, Ma.” Nadaku mulai memelas.
“Sepulang gereja silahkan Kakak bermain sepuasnya.”
Rasanya kecewa namun tidak masalah, toh, aku suka Paskah. Pergi ke gereja bersama keluarga, melihat adek kecil dan teman-temannya menampilkan pertunjukan, dan pastinya berburu telur dan permen. Haha, gejolak masa kecilku keluar lagi. Namun, sepertinya ini Paskah pertamaku tanpa papa. Aku rindu papa.
***
‘“... Aku mengasihinya Tuhan, di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Haleluya. Amin.” Aku mengakhiri doaku dan membuka mata.
“Kak?” Terdengar suara mama dari balik pintu kamarku. “Boleh mama masuk?”
“Kak, ngobrol bentar sama mama ya?” Mama duduk di ranjangku dan tersenyum sangat hangat.
“Tumben ma? Hayo ada apa ma?” Candaku sambil mencolek pipi mama.
“Besok tryout sayang? Sudah belajar kan?”
“Hehe, apa sih ma? Gak usa basa-basi gitu deh?”
“Kakak gimana hubungannya sama Mas Ridho?”
“Hehe, Puji Tuhan baik ma, mama denger doaku ya?”
“Kakak sayang banget ya sama Mas Ridho? Mama juga suka kok, Mas Ridho anaknya baik, sopan, terlihat dewasa juga.” Ya Tuhan, senyum mama teramat manis saat mengatakannya.
“Ma, Kaila sayang sama Ridho, Kaila takut.” Raut wajahku berubah seratus delapan puluh derajat.
“Iya sayang, makanya itu mama ingin ngobrol serius dengan Kakak.” Mama mengelus rambutku.
“Apa Tuhan marah kalau Kaila mengasihi orang yang berbeda? Kaila sayang Ridho, Ma.” Tanpa sadar ada air yang jatuh dari ujung mataku.
“Tuhan kita itu penuh kasih sayang. Menurut Kakak untuk apa Tuhan Yesus rela turun ke dunia dan jadi sama dengan manusia? Untuk menunjukkan kasih-Nya pada kita kan? Kakak juga tahu kan, Tuhan Yesus sudah rela mati di kayu salib juga untuk menebus dosa umat manusia. Kakak lihat saja betapa besar kasih Tuhan kepada kita selama ini, apa mungkin Tuhan akan marah jika kita mengasihi orang lain?”
Aku hanya membisu. Seketika semuanya hening. “Kak, semua yang Tuhan ciptakan di dunia ini untuk kemuliaanNya, manusia yang menciptakan perbedaan, manusia juga yang menciptakan jurang pemisah. Setiap orang itu sama di mata Tuhan. Lalu untuk apa Tuhan bangkit pada hari ketiga? Untuk menggenapi firman-Nya, untuk menunjukkan kemuliaan dan kebesaranNya. Percaya deh Kak, kasih Tuhan itu besar buat orang-orang percaya.”
“Tapi Ridho muslim ma, bukan orang percaya. Apa aku harus menjadikannya Kristen agar kita bisa bersama?” Nada suaraku rendah dan terdengar menyerah.
Mama memelukku dengan sebuah kalimat sederhana yang mampu menghipnotisku. “Jadikan semua bangsa muridku, bukan jadikan semua bangsa orang Kristen. Kamu dipilih Tuhan buat jadi berkat buat Ridho, pancarkan kasih Tuhan lewat perbuatanmu. Sekarang semua dimulai dari kamu. Buat Ridho percaya kebesaran Tuhan melalui kamu. Melalui anak mama yang manja ini. Lalukan yang terbaik buat Tuhan maka Tuhan akan menberikan yang terbaik buat kamu.” Kalimat itu mama akhiri dengan sebuah senyum yang luar biasa indah.
“Sekarang mama ingin lihat anak mama yang jelek ini tersenyum.” Kata mama sembari melepaskan pelukanku.
Malam ini aku dan mama, berdoa bersama. Berdoa untukku, berdoa untuk hubunganku dan Ridho, dan berdoa untuk kami. Aku mengasihinya Tuhan. Tolong kami. Dan malam ini aku bersyukur Tuhan memberikan aku oknum terluar biasa sepanjang masa, mamaku.
***
“... Karena kita Dia menderita
Karena kita Dia disalibkan,
agar dunia yang hilang diselamatkan,
dari hukuman kekal”
Ibadah Jumat Agung pagi ini begitu haru dan tenang. Atmosfir kesyahduan begitu terasa mengenang kematian Tuhan Yesus di kayu salib. Aku pun ikut merasakan betapa besar pengorbanan Tuhan Yesus bagi umat manusia. Betapa luar biasa mengingat dosa kita yang tak terhitung banyaknya Dia tebus dengan darah-Nya yang begitu mahal. Perjamuan Kudus menambah kesatuan hidupku dengan-Nya. Walau tak seperti tahun-tahun sebelumnya ketika aku, mama, dan papa duduk dalam deret sama tetapi aku tetap merasakan hikmat yang begitu luar biasa. Hari ini berbeda, hanya ada aku dan mama yang melihat adik dan anak-anak sekolah minggu menampilkan sebuah pementasan sederhana. Namun bagaimana pun keadaannya, aku selalu berdoa agar Tuhan membawa papa kembali. Dan apa yang aku miliki sekarang, itulah yang harus aku syukuri.
“Mama, Kak Kaila...” Si adik kecil berlari menghampiri kami.
“Mama, Kakak, adik juala satu.” Senyumnya begitu menggemaskan.
“Berarti hadiahnya buat kakak dong!” Godaku sambil mencubit pipinya.
“Endak ini buat adik, kan adik yang juala.” Dengan segera si adik kecil menyembunyikan kotak dengan kertas kado ungu itu di balik punggungnya.
“Oh, tidak bisa yang menghias telur kan kakak, adik kan cuma liat aja.”
“Gak boleh ini punya adik, kan yang lomba bikin telul adek. Wek!” Si adik kecil menjulurkan lidahnya. Mama hanya tersenyum geli melihat tingkah anak-anaknya.
“Terus kakak dapat apa?” Aku menunduk dan memasang wajah memelas.
“Ini, ini buat kakak.” Adik kecil maraih sakunya dan memberikan sebuah kertas kecil berwarna merah jambu. Sepertinya ini pembatas alkitab.
Tanpa aku sadari deret rapi tulisan dalam kertas itu begitu luar biasa. Aku membacanya dengan diakhiri senyuman tipis. Haha, ini perintah! Ahh, Tuhan selalu tahu apa yang aku alami. Terima kasih Tuhan. Selamat Paskah.
“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain. Yohanes 15 : 16-17”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda disini. Tuhan Yesus memberkati. GBU